Lukas 18:1-18
Perumpamaan ini diletakkan setelah diskusi mengenai Kedatangan Kerajaan Allah. Anak Manusia akan datang pada saat-saat tak terduga. Sebagai kilat memancar dari ujung yang satu ke ujung yang lain, demikianlah halnya kedatangan Anak Manusia kelak. Dan sama seperti pada zaman Nuh dan pada zaman Lot, orang-orang sibuk dengan kehidupannya masing-masing – makan dan minum, kawin dan dikawinkan, membeli dan menjual, menanam dan membangun – lalu tiba-tiba Anak Manusia datang. Dalam konteks inilah Yesus mengatakan suatu perumpamaan tentang perlunya mereka berdoa dengan tidak jemu-jemu.
Dua Tokoh
Yesus memulai cerita dengan mengedepankan dua tokoh: (1) seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati manusia, dan (2) seorang janda yang selalu datang kepada hakim tersebut meminta pembelaan atas haknya.

Andaikan janda itu adalah seorang berkulit gelap, dan berambut keriting kecil-kecil. Seorang janda yang sangat miskin, tidak tahu menahu tentang legal system. Ia datang kepada pemilik apartment-nya meminta agar ia bisa memperoleh heater selama musim Winter yg dingin. Namun landlord-nya menolak mentah-mentah.

Janda itu memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan tanpa didampingi seorang lawyer. Justice ought to be done. “Belalah hakku terhadap lawanku!,” katanya.

Namun sialnya, setiap kali ia menghadap sidang pengadilan, ia bertemu dengan hakim yang itu-itu juga: Seorang hakim ateis dan bigot. Ia tahu bahwa kemungkinan kasusnya dapat dimenangkan sangatlah tipis. Namun demikian, ia tidak menyerah.

Ia menghubungi hakim itu di kantor, di rumah, di cell phone. Ia ketuk pintu rumahnya. Ia hadang mobilnya di tengah jalan. Segala cara Ia lakukan. Hingga hakim itu berkata dalam hatinya, “Walaupun aku seorang ateis dan bigot, namun karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku memenangkan kasusnya, supaya jangan terus-menerus ia datang mengganggu dan akhirnya menyerang aku.[1]

Pelajaran yang dapat kita petik
Tuhan tidak mengajarkan bahwa berdoa dengan tidak jemu-jemu pasti mendatangkan hasil yang kita inginkan. Jika hari ini Allah belum tergerak, coba lagi besok, jangan patah semangat. Berseru-serulah siang malam sampai Allah tidak berdaya dan akhirnya mengabulkan permintaan kita, or give him a black eye!

Dalam cerita ini Yesus menggunakan logika fortiori (from the lesser to the greater) atau logika how much more. Maksudnya, jika suatu prinsip benar bagi manusia yg dapat bersalah dan jahat, lebih benar lagi bagi Allah yang baik dan sempurna. Dengan kata lain, tidak perlulah kita meragukan pertolongan-Nya. Allah tidak pernah melupakan kita. Ia pasti membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya. Ia tidak akan mengulur-ulur waktu; sebaliknya, Ia akan segera menolong mereka.

Mempertanyakan Allah
Saya tahu tidak mudah bagi kita untuk menerima kebenaran ini, oleh karena pengalaman kita berbicara lain.

Saya percaya sebagai orang Kristen kita pernah mempertanyakan Allah. Hanya seorang yang tidak pernah berdoa luput dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah Allah mendengarkan doa-doa kita? Apakah aku berdoa kepada Allah atau berkata-kata pada diri sendiri? Di manakah Allah yang peduli dan memperhatikan kita itu?

Siapa yang tidak pernah merasa dikecewakan oleh Allah?

  • Pasangan suami-isteri yang sudah bertahun-tahun berdoa agar dikaruniai seorang anak.
  • Orangtua yang telah bertahun-tahun mendoakan puterinya agar bertobat dan kembali pada imannya.
  • Anak yang sudah bertahun-tahun berdoa agar kedua orangtuanya bisa rujuk kembali.
  • Pasien yang telah bertahun-tahun mendoakan kesembuhan dari sakitnya.
  • Kita dapat meneruskan list ini sepanjang-panjangnya.

Saudara saya pada suatu hari menulis e-mail kepada saya, mengatakan: “Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang Allah lakukan dengan hidup saya. Ketika saya menginginkan sesuatu, saya mendoakannya setiap hari, tetapi Allah tidak mengabulkannya. Sampai Saya merasa tidak menginginkannya lagi, Saya melupakannya, Allah tahu-tahu memberikannya. Bagi Saya, Allah itu aneh. Ia seperti sedang mempermainkan hidup saya.”

Terus terang saya tidak tahu bagaimana menjawab semua pertanyaan itu. Saya tidak hendak berpura-pura belum pernah mengalami keraguan atau mempertanyakan Allah.

Taat baru mengetahui
Tuhan Yesus pernah berkata, “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku. Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri” (Yohanes 7:16-17). Perhatikan urutan di sini: Lakukan kehendak Allah, baru setelah itu kita akan tahu.

Kita tidak mengenal Allah, baru kemudian melakukan kehendak-Nya. Kita mengenal DIA lebih mendalam dengan melakukan kehendak-Nya.

Thomas Merton menulis demikian, “Kita menerima pencerahan sejauh kita memberi diri lebih dan lebih utuh kepada Allah dengan ketaatan yang rendah hati dan kasih. Kita tidak pertama-tama melihat, lalu bertindak. Kita bertindak, baru melihat. … Dan itulah sebabnya seorang yang menunggu agar dapat melihat dengan jelas, sebelum ia menaruh percaya, tidak pernah memulai perjalanan.

Para tentara dari Perang Dunia II bercerita tentang kehidupan mereka selama berperang. Seorang duduk di sebuah lubang sepanjang hari; sekali dua kali tank Jerman lewat, dan ia menembakinya. Yang lain bermain kartu dan menghabiskan waktu. Beberapa orang terlibat dalam baku tembak sengit. Pada umumnya hari berlalu seperti hari-hari lainnya. Belakangan baru mereka tahu bahwa mereka baru saja terlibat dalam salah satu perang terbesar dan paling menentukan. Pada saat itu tak seorang pun merasa menentukan, oleh karena tak seorang jua memiliki gambaran besar tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Mereka hanya patuh pada atasan mereka. Disuruh stay ya stay. Mereka tidak bisa pulang semaunya. “Berhubung hari ini tidak ada musuh lewat, saya mengaso dulu ah… di rumah.” Tidak! Mereka juga tidak boleh ngambek. “Sudah berbulan-bulan kami berlatih menembak dan menyerang, semua itu sia-sia belaka. Ternyata kami hanya duduk-duduk di sebuah lubang.” Mereka harus taat setaat-taatnya. Seusai perang, barulah mereka tahu bahwa peranan mereka sebenarnya menentukan dalam perang tersebut.

Demikian pula kehidupan beriman para pengikut Yesus. Kita menunggu dan menunggu Tuhan bertindak, namun kita tetap berharap. Kita tidak melihat namun tetap percaya. Big picture ada pada Tuhan, bagian kita adalah mematuhi perintah-Nya. Maka dari itu, perkataan Yesus tidak berakhir pada penekanan bahwa Allah pasti segera membenarkan orang-orang pilihan-Nya, melainkan pada sebuah pertanyaan bagi kita sekalian: “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”

Saudara-saudari dalam Tuhan, pada akhir zaman kelak bukan kesetiaan Allah benar yang akan dipertanyakan, melainkan kesetiaan kita. Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia menjumpai orang-orang pilihan-Nya siang malam berseru-seru kepada-Nya?

Penutup
Seorang pengarah spiritual Fénelon menasihati murid-muridnya: Di masa-masa sulit, “doa mungkin tidak begitu mudah, kehadiran Allah tidak begitu nyata dan menghiburkan, tugas-tugas terasa lebih berat dan kurang memuaskan, namun kesetiaan yang menyertai semua itu lebih besar, dan itu cukup bagi Allah.”

Amin.

 

[1] Dalam bahasa Yunani, kata “menyerang” secara literal berarti “to give a black eye.” Maksudnya, bukan menyerang seperti yg pada lazimnya kita pahami, melainkan mempermalukan atau merusak reputasi.