Kejadian 24

Pasal ini mungkin terpanjang dari seluruh pasal yang terdapat di seluruh kitab Kejadian. Namun demikian, alur ceritanya sederhana: ada masalah, ada penyelesaian. Apa masalahnya? Jika pada pasal sebelumnya tanah menjadi soal, maka pada pasal ini, keturunan yang menjadi soal: Ishak belum beristri, tapi tiada ibu tersisa di Israel. Padahal Tuhan sudah mengadakan perjanjian kekal dengannya bahwa ia akan berketurunan banyak. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Ishak kawin dengan Ribka. A happy ending story, isn’t it?

Mari kita analisa cerita ini lebih jauh.

Sebagaimana Von Rad melihatnya – disitir oleh Walter Brueggemann dalam commentary-nya – cerita ini dapat dengan mudah dibagi menjadi 4 babak, dengan masing-masing tokoh bersua secara menarik: (1) Abraham dan hamba yang tak bernama itu, ayat 1-9; (2) hamba itu dengan Ribka, ayat 11-27; (3) hamba itu dengan keluarga Ribka, 28-61; (4) Ishak dan Ribka, ayat 62-67.

Dalam artikel ini saya tak akan mengomentari babak demi babaknya secara merinci. Terutama babak keempat akan saya tinggali. Tak banyak pula yang dapat saya komentari pada babak itu, selain daripada pertemuan antara sejoli, Ishak dan Ribka, yang membuahkan cinta asmara, menggenapi rencana Tuhan yang indah.
Babak kesatu (24:1-9)
Abraham meminta hambanya[1] agar bersumpah padanya. Apakah yang Abraham minta dari hambanya itu? Ia meminta agar hambanya mencarikan istri bagi Ishak, putranya. Namun ia tak boleh mengambilkan untuk Ishak seorang gadis lokal, atau seorang perempuan Kanaan. Abraham menegaskan bahwa istri bagi Ishak haruslah seorang yang berasal dari negeri asalnya, dan dari keturunannya. Mengapa demikian? Pernahkah Anda bertanya apa alasan Abraham berkukuh tak mau mengambil untuk Ishak seorang istri dari antara gadis-gadis Kanaan? Apakah ini menyangkut bibit, bobot, dan bebet? It could be! Tapi saya melihat ada yang lebih significant dari itu. Baca lagi Kejadian 9:25! Setelah Ham mengintip aurat Nuh, ayahnya, ia mendapat kutuk.
“Terkutuklah Kanaan, / Hendaklah ia menjadi hamba / Yang paling hina bagi / Saudara-saudaranya.”
Abraham, saya kira, mempelajari tradisi dan sejarah keselamatan dengan jeli, itulah salah satu sebab utama mengapa ia tak mengizinkan Ishak kawin dengan seorang gadis Kanaan. Tepatlah apa yang dikatakan Hamilton, “Jika Ishak bakal mewarisi tanah perjanjian, ia sudah tentu tak boleh kawin dengan mereka yang telah ditakdirkan tak akan mewarisi tanah perjanjian.” Tapi lantas mengapa harus dengan seorang gadis yang berasal dari negeri asal Abraham, dan dari keturunannya? Untuk mengetahui jawabnya, Anda perlu membaca ayat berikutnya,
“Lagi katanya: / ‘Terpujilah Tuhan, Allah Sem…’”
Sekarang tengoklah Kejadian 11 mulai ayat 10 hingga ayat 26. Dari keturunan Sem yang diberkati Tuhan itu lahirlah Abram, Nahor, dan Haran. Nah, Ribka ialah putri Nahor, adik Abraham sendiri (Kejadian 24:15).

Jadi, jelas mengawinkan Ishak dengan seorang gadis Kanaan hanya akan merusak perjanjian kekal yang telah dibuat antara Tuhan dan orang-orang kepunyaan-Nya. Abraham menganggap serius hal ini sampai ia meminta hambanya bersumpah demi Tuhan, Allah langit dan bumi, yaitu Tuhan perjanjian, Allah sang khalik. Hambanya itu disuruh bersumpah dengan meletakkan tangannya di pangkal pahanya, dekat dengan alat kelaminnya. Mungkin ini bertaut dengan kelanjutkan garis keturunan Abraham melalui Ishak.

Tetapi hamba itu segera menemukan potensi masalah dalam permohonan Abraham: ayat 5, “Mungkin gadis itu tak sudi mengikut aku ke negeri ini. Kalau begitu adanya, haruskah kubawa putramu kembali ke tanah dari mana kau berasal?” Sikap Abraham liat; “awas,” katanya, “jangan sekali-kali kau bawa putraku ke sana.” Membawa Ishak kembali ke negeri dari mana Tuhan memanggil Abraham keluar sama saja dengan menegasi panggilan dan perjanjian Tuhan baginya. Walau telah enam puluh tahun lebih Abraham dan Sara hidup di tanah Kanaan sebagai orang asing dan pendatang, tapi iman Abraham teguh tetap. Keberadaan Ishak di tanah kelahirannya, tak pelak lagi, akan menjadi reminder mengenai janji Allah tersebut.

“Tuhan kan beserta denganmu; Ia kan mengutus malaikat-Nya memimpinmu. Pergilah!” Begitu Abraham meyakinkan hambanya akan bimbingan Tuhan.
Babak kedua (24:10-27)
Hamba itu pun bergegas untuk pergi menuju tempat yang ditunjuk oleh tuannya, Abraham. “Demikianlah ia berangkat menuju Aram-Mesopotamia ke kota Nahor.” Walau perjalanannya tak diperinci di sini – hanya separuh ayat – ia sebenarnya menempuh jarak sejauh 400 miles, atau 1 bulan. Catatan: ia sendiri saja. Tak berteman, the lone ranger.
Target lokasi sudah tercapai, kini saatnya menjalankan tugas berikut: mencari pasangan yang pas bagi Ishak, putra waris tuannya. Hamba itu seorang yang saleh. Ia mengawali kerjanya dengan berdoa pada Tuhan, meminta bimbingan-Nya dan memohon tanda. Hari sudah petang, perempuan-perempuan pun meninggalkan rumah untuk menimba air di sumur. Hamba itu meminta, jika ada di antara perempuan-perempuan itu yang Tuhan tunjuk, biarlah ia sudi tak hanya memberinya air minum tetapi juga untuk unta-untanya.
Kemudian Ribka memasuki stage. Ialah cucu Nahor, adik Abraham. Ia datang dengan membawa buyung. Ia sangat cantik, masih perawan, dan tak bersuami. Tak cuma itu, ia pun murah hati dan suka bekerja keras. Perhatikan bagaimana ia mengambil air, ayat 16b, “Ia turun ke mata air itu dan mengisi buyungnya, lalu kembali naik.” Ini berarti, demi untuk menimba air ia harus turun-naik.
Segera hamba itu meminta air minum dari buyungnya. Ia merespon sesuai harapan, memberinya air minum. Sesudah itu, tanpa diminta lagi, unta-untanya pula ia beri minum. “Baiklah untuk unta-untamu juga… sampai semuanya puas.” Semua ia lakukan segera, tanpa menunda. Tapi, sampai puas…? Berapa banyak air diperlukan untuk memuaskan 10 ekor unta? Perbandingan berikut mungkin memperjelas. Konon, untuk seekor unta yang telah beberapa hari menempuh perjalanan dibutuhkan 25 gallon air. Nah, berapa besar kapasitas buyung Ribka? 3 gallon. Kalau begitu, Ribka perlu menimba kira-kira 80 hingga 100 kali, naik-turun. Saya yakin ia pasti amat lelah. Berlelah-lelah bukan untuk dirinya sendiri, melainkan bagi orang lain, ia memang luar biasa. Tak heran, setelah Ribka selesai, hamba itu langsung memasangkan anting-anting emas pada hidungnya dan sepasang gelang tangan emas pada lengannya sebagai tanda jadi. Ialah orang yang tepat, orang yang ditunjuk Tuhan.
Selanjutnya, hamba itu singgah di rumah Ribka, bertemu dengan orangtua dan saudaranya.
Babak ketiga (24:28-61)
Yang menarik pada babak ini, penulis berkisah demikian rinci, begitu rinci sehingga penuh repetisi, padahal kejadian yang diliputnya hanya berlangsung selama kurang dari sehari, malam sampai pagi, that’s it. Pertanyaan saya, buat apa? Ditinjau dari perspektif pembaca modern, buku yang begini tak bakal laku terjual, soalnya membosankan. Imagine! Anda membaca sebuah novel. Pada chapter 1 dikisahkan sang tokoh bertamasya dengan family-nya, let’s say, di Algonquin park. Daun-daun hijau berganti warna, merah, ungu, kuning, jingga, aneka warna, indah nian. Lalu masuk chapter 2, sang tokoh berjumpa dengan rekan kerjanya di kantor; ia ceritakan seluruh pengalamannya di Algonquin park itu. Persis, dengan kata-kata yang tak diganti, penulis tak melakukan pengembangan apapun. Seluruh chapter 2 berisi penyampaian ulang pengalaman bertamasya yang pembaca telah ketahui dari chapter 1. Sebagai pembaca apa kira-kira reaksi kita? Kemungkinan besar kita tutup novel itu; donate saja ke Goodwill, siapa tahu ada orang lain yang mau membaca.
Begitulah reaksi kita (atau kebanyakan orang) membaca details. Tapi mengapa penulis kitab Kejadian melakukan itu? Tak pelak lagi, saya tak ragu, penulis hendak mengajak pembacanya memperhatikan details. Ingat, kitab Kejadian bukan buku novel yang dibaca sebagai hiburan. Bagi pembaca awal, dan bagi kita, kitab ini ditulis untuk membawa kita pada keselamatan yang dijanjikan Tuhan Allah bagi orang berdosa. Jadi, details yang disampaikan di sini tak semestinya dianggap remeh. Penulis juga bukan sedang kehabisan kata-kata sehingga ia mengulang saja apa yang telah ditulisnya. Details itu penting, kita harus pay close attention to the details, because God is in the details, He works in details, meski Ia tak selalu bisa terlihat sedang berkarya. Perhatikanlah, dalam pasal ini Tuhan tak memasuki stage sama sekali. Di manakah Ia? Ia sedang berkarya di balik layar, behind the scene. Ia menyertai hamba Abraham sehingga usahanya berhasil. Tapi kita tak membaca Ia berbicara dan bertindak secara eksplisit. Ia tak terlihat spektakular.
Karena itulah, kita membutuhkan mata iman untuk menyaksikan Tuhan bekerja dalam hidup kita. Tanpa mata iman, kita pun tak bisa melihat karya Tuhan dalam Kejadian 24. Silakan lepas semua atribut rohani dari kisah tersebut, kita akan menyebut keberhasilan hamba itu sebagai ‘good luck’ semata.
Sejak dulu saya ingin jadi fotografer, tapi tak pernah kesampaian. Dulu, alasannya financial. Sekarang, sudah terlambat. Ah, tapi mana ada yang terlambat untuk belajar. Ya, ya, itu mungkin cuma alasan yang saya buat-buat. Tapi bukan itu point saya. Okay, let me continue.
Meskipun tak bisa foto (bisalah kalau cuma asal jepret), saya suka melihat karya foto seni. Salah satu website atau photoblog yang kerap saya singgahi ialah ketanbakar. Terus-terang saya kagum pada para fotografer seni. Mereka bisa menjadikan hal-hal kecil dan remeh temeh jadi puisi, begitu indah dan meaningful. Saya heran, bagaimana mereka bisa melakukan itu? Apakah hanya karena mereka berbakat? Tentu saja, mereka bertalenta. Itu tak saya ragukan. Tapi apa hanya itu? Menurut saya, tidak. Saya kira mereka juga melatih diri, atau tepatnya, melatih mata untuk peka memperhatikan hal-hal kecil dan remeh-temeh di dunia, tak jemu-jemu mencoba melihatnya dari berbagai angle hingga mereka dapat menemukan mutiara atau berlian makna di sana.
Mata iman yang saya maksudkan adalah seperti mata fotografer seni. Kita pun perlu melatih mata hati kita agar peka memperhatikan kejadian-kejadian di sekitar kita. Jangan kita abai. Bukankah dengan iman kita percaya bahwa Tuhan bekerja dalam segala sesuatu, termasuk dalam details kehidupan kita? Mengapa kita tak rajin-rajin membuka mata iman memperhatikannya? Saya khawatir, jika kita tak membiasakan mata iman kita memperhatikan karya Tuhan dalam hidup kita, baik yang besar maupun yang nampak kecil, kita akan kehilangan banyak kesempatan menyaksikan keindahan yang Tuhan sudah dan tengah nyatakan. Akibatnya, kita menjadi orang yang melulu complaining, sulit bersyukur.

[1] Penulis tidak mencantumkan identitas nama padanya. Jadi, hamba ini awanama. Seorang hamba memang tak perlu bernama, oleh karena yang penting dari seorang hamba adalah bahwa ia setia dan dapat dipercaya. Dan dua kualitas tersebut nampak jelas ada pada hamba ini.