Kejadian 22:1-14

Abraham akhirnya harus pula melepas Ishak (Kejadian 22:2). Perhatikan bunyi pesan Allah kepadanya, “Ambillah putramu, putramu satu-satunya, yang kau kasihi … persembahkanlah dia di sana.” Tidakkah Ishak putra perjanjian, darinyalah akan lahir sejumlah besar bangsa? Tapi mengapa kini Allah memintanya pula? Meskipun sulit menjawab pertanyaan ini, saya berpendapat, masih ada pertanyaan yang lebih sulit lagi. Sebagai pembaca kita beruntung bisa segera tahu dari mula bahwa Tuhan sebenarnya sedang menguji Abraham (ayat 1). Tapi jangan dikira bahwa Abraham juga telah mengetahuinya. Ia tidak boleh tahu, tentu saja. Sebab jika ia juga tahu hal itu sejak dini, ujian Allah baginya benar-benar tak ada artinya. Jadi, ia tak tahu rencana apa di balik perintah Allah itu. Herannya, dalam keadaan tak tahu, tak mengerti, ia tetap percaya dan patuh pada perintah Allah tersebut. Apa yang membuatnya bisa begitu? Inilah pertanyaan yang lebih sulit dijawab.
Kita bisa mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menganalisa bagaimana penulis bercerita di pasal ini. Dalam hal ini saya dibantu oleh teolog penafsir Perjanjian Lama, Walter Brueggemann. Teks ini dibagi dalam 3 rangkai pernyataan panggil-tanggap.
Rangkaian 1: panggilan Allah (ayat 1), tanggapan Abraham (ayat 1), perintah Allah (ayat 2).
Rangkaian 2: panggilan Ishak (ayat 7), tanggapan Abraham (ayat 7), pertanyaan Ishak (ayat 7), pernyataan iman Abraham (ayat 8).
Rangkaian 3: panggilan Malaikat (ayat 11), tanggapan Abraham (ayat 11), seruan Malaikat (ayat 12).
Jika kita perhatikan baik-baik, rangkaian 2 itu lain daripada yang lain. Setiap rangkaian memiliki tiga elemen, hanya rangkaian 2 memiliki empat elemen. Apakah bunyi elemen keempat itu? “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya, putraku.” Ini jelas sebuah pernyataan iman, Allah yang akan menyediakan. Suatu pernyataan percaya yang terbuka pada segala kemungkinan. Abraham tak sepenuhnya tahu apa gerangan akan terjadi di masa depan, baik dengan Ishak maupun dengan dirinya. Ia, karena itu, tak memberitahu Ishak, putranya, apa yang ingin diketahuinya. Bukan karena ia hendak merahasiakannya pada Ishak, tetapi karena ia memang tak tahu. Ia tak tahu apakah benar Ishak yang akan disembelih dan dibakar hingga hangus ataukah Tuhan akan menyelamatkannya. Kemungkinannya hanya dua: Ishak kurbannya atau bukan Ishak. Ia tak tahu, tapi ia percaya penuh. Ia percaya pada penyediaan, pemeliharaan, dan penyelenggaraan Tuhan.
Ibrani 11:17-19 menjelaskan iman Abraham sebagai berikut: “Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: ‘keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu.’ Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali.”
Dari sini kita belajar bahwa Abraham percaya akan kebangkitan orang mati. Jadi, sekiranya ketika itu Ishak tak digantikan, ia pun akan tetap mempersembahkannya pada Allah sesuai permintaan-Nya, karena ia percaya penuh bahwa Tuhan tak pernah ingkar janji, Tuhan tak bisa gagal, apa yang Ia sabdakan, pasti akan digenapi-Nya. Bahkan orang-orang mati pun bisa dibangkitkan. Iman seperti ini, tak pelak lagi, menerobos keterbatasan manusia, menembus selaput batas hal-hal yang dapat dilihat oleh mata kita.
Abraham pun pergi mendaki gunung di tanah Moria, mempersembahkan Ishak di sana sebagai kurban bakaran. Bagi kita pembaca kisahnya Ishak ialah masa depan Abraham. Dan dengan menjadikan Ishak kurban bakaran berarti masa depan Abraham pun terbakar hangus. Saya kira Abraham belajar di sini bahwa masa depannya bukan terletak pada Ishak, melainkan pada Tuhan yang berjanji padanya.
Sebagaimana kita dapat membaca di ayat 11, Malaikat Tuhan lalu berseru dari langit, ketika Abraham hampir menyembelih Ishak, “jangan bunuh anak itu…” Akhirnya, keselamatan yang dari Tuhan datang. Ishak bebas, ujian selesai, dan Abraham lulus. Iman Abraham mendapat peneguhannya, Tuhan sungguh menyediakan. Maka tak ragu-ragu ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari anak domba yang telah disiapkan oleh Tuhan, dan ia menemukannya. “Abraham mengambil domba itu, lalu mengurbankannya sebagai kurban bakaran pengganti anaknya” (ayat 13). Jehovah Jireh, ya Tuhan yang menyediakan pengganti, demikianlah Abraham menamai tempat itu.
Menarik, kisah ini diawali dengan Allah sebagai sang penguji, ditutup dengan Tuhan sebagai sang pemelihara. Percaya memang bukan hal mudah. Setiap orang percaya pastilah diuji. Sebenarnya, tidak ada iman yang tak diuji. Kita tak perlu percaya, jika segala sesuatu berjalan mulus sesuai dengan mau kita. Kita tak perlu beriman, jika masa depan sudah kita ketahui di muka dengan terang benderang. Kita perlu percaya dan bersandar penuh pada Tuhan, justru ketika segala sesuatu nampak gelap, tak tentu, dan tiada yang dapat diandalkan. Satu hal saya yakini, ketika kita lulus dari ujian iman, percaya kita makin teguh bahwa Tuhan adalah pemelihara.